Water Temple Paradox
Deskripsi Karya
Di kota ini, yang mungkin dianggap penting adalah uang dan berdagang, dan berkesenian akan segera ditinggalkan begitu dirasa merepotkan. Atau berkesenian hanyalah sebuah dekorasi pada sebuah perayaan? Bukankah dalam kedaruratan atau ketergesaan, kita hanya akan membawa yang kita anggap perlu dan berguna. Dan apa yang lebih tepat menggambarkan kepalsuan dan kejujuran sebuah kota secara bersamaan, selain sebuah perayaan yang diguyur hujan secara tiba-tiba.
Yang tersisa dari sebuah pesta makan yang mendadak bubar dan ditinggalkan, adalah lampion-lampion merah basah yang bergantung dan bergoyang. Tepat dibawahnya adalah alat-alat makan yang berserak berantakan, terlalu merepotkan untuk dibawa serta oleh penggunanya.
Tapi yang tersisa tersebut akan tetap di tempatnya, bertahan dari perubahan cuaca. Terdiam, teguh dan kokoh, menolak untuk ikut berpindah posisi.
Dan ketika hujan pada akhirnya reda, lampion tetap menyala, dan dibawahnya, meja dan kursi yang basah segera dikeringkan. Pesta makan kembali dimulai dan dipenuhi riuh rendah suara orang berbicara.
Dan yang bertahan, meski ditinggalkan, ternyata diperlukan.
Sajak diatas adalah pengantar, bagaimana karya ini bercerita tentang Perayaan, hujan yang turun tidak dari langit, dia hadir bersama nyala lampion yang mengiringi sebuah perayaan. Tepat dibawahnya terefleksi sebuah paradox, sendok sendok yang tidak digunakan untuk makan, sesuatu yang tetap hadir kokoh tidak mau berpindah. Realitas yang selalu hadir dan abadi.