Biografi Singkat
Biografi Singkat
Bonggal J. Hutagalung
Bonggal Jordan Hutagalung, yang dilahirkan di Sleman, Yogyakarta, 28 Juli 1988, adalah lulusan Kriya Keramik, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Meskipun Bonggal berkarya melalui keramik, gambar dan instalasi benda jadi atau benda temuan, karya seni dengan bahan utama lempung itu adalah yang paling menandai kekaryaannya. Dalam keramik, terutama, sekali waktu ia mengambil alih bentuk batu prasasti sebagai karyanya, tetapi pada saat yang sama ia menerapkan desain grafis di atasnya, bahkan teks. Itulah kenapa keramik-keramik Bonggal selalu berusaha “berbicara” kepada khalayak penonton, melebihi bentuk-bentuk ganjil yang sudah ia hadirkan selama ini.
Pameran tunggalnya Pottrippin di Galeri Hidayat, Bandung, 2013, menandai langkah awalnya dalam menegaskan pendekatan seni keramik yang ia tempuh, yaitu perpaduan antara material dan gagasan. Kecenderungan itu pula yang muncul pada pameran-pameran bersama yang pernah ia ikuti. Misalnya, Jakarta Contemporary Ceramics Biennale, 2012-2014; Choir of the Mischief, bersama ketjilbergerak di Jogja National Museum, 2015; BNE #5 di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 2014; dan Seni Keramik Kontemporer Indonesia: A Progress Report di Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta, 2012.
Bonggal diunggulkan untuk Soemardja Art Award pada 2013 dan menerima penghargaan ARTJOG MMXII Young Artist Award 2021.
Karya Seni
Deskripsi Karya
Saya percaya tidak ada ilmu yang ekslusif selama seseorang memiliki akses dan memang mampu mempelajarinya, terlebih jika dia menemukan kegembiraan dalam prosesnya. Dalam medan sosial seni yang penuh dengan mistranslasi dan malpraktek, pengertian seni terus menerus menggelembung hingga ke titik ekstrim dimana pelecehan intelektual bisa dirayakan sebagai salah satu bentuk kebebasan berekspresi. Walau dalam kengawuran yang berlangsung meriah ini teori dan kritik seni seakan dianggap sebagai barang tabu, bagi saya keduanya adalah alat yang masih sangat relevan untuk paling tidak merakit personal compass di dalam studio. Melalui proses belajar dan berkarya saya menemukan bahwa ternyata selain sebagai jiwa ketok, seni adalah isu sosial dan kebaruan
hanyalah perkara trivial yang tidak lebih penting dari mutu kekaryaan itu sendiri. Membaca lebih dekat lagi, sebenarnya banyak hal-hal menarik dari masa lampau yang sepertinya tidak diacuhkan. Kanon seni yang faalnya eksis untuk diuji dan dipertanyakan sebagai materi pembelajaran sudah biasa dibiarkan terbengkalai sementara artefak sampah leluasa hilir mudik beredar di galeri.
Menyadari fenomena sosial tersebut saya mempertanyakan arah pembentukan sejarah seni yang barangkali secara proaktif memvalidasi pawai orang-orang bingung. Dalam karya ini saya menghadirkan kembali poin-poin yang berasal dari berbagai zaman -baik dari dalam dan luar dunia seni rupa- dalam bahasa yang pesimis sekaligus realistis. Sebaik apapun stimulan kognisi yang saya racik hanyalah spesimen mungil yang merupakan minoritas berlapis dalam seni rupa kontemporer hari ini. Secara formal karya saya diinspirasi oleh wujud batu prasasti, yang menarik bagi saya karena media komunikasi ini dapat bertahan hingga puluhan generasi. Sebuah pendekatan jitu untuk mengkonservasi pesan yang dirasa penting. Saya juga mengapropriasi desain grafis yang saya temukan di internet untuk mengiringi teks yang saya bubuhkan dalam karya. Secara khusus, pemakaian langgam desain grafis dilatarbelakangi kekuatannya sebagai bahasa rupa yang paling lugas dalam menyampaikan pesan. Medium keramik menjadi pilihan terbaik untuk mengutarakan sesuatu yang timeless tapi juga rapuh, cocok untuk nilai-nilai yang saya hadirkan ulang di tengah status quo.
Dari kiri ke kanan:
29,5 x 19 x 34 cm, 31 x 35 x 32 cm, dan 29 x 22 x 35 cm
Deskripsi Karya
“Masalahnya, kita sering lupa bahwa kebenaran tidak seikat dengan kemenangan. Kebohongan terbesar yang selalu siap kita telan adalah bahwa kebenaran pasti (akan) menang. Dan ini manusiawi.” Tida Wilson (Future Collective)
Dalam arus dunia yang brutal, setiap keputusan untuk menolak pengetahuan dan kesadaran adalah keputusan untuk meniadakan benar dan salah. Dunia yang dirancang seperti itu hanya menyisakan dua pilihan: menang atau kalah, tiada yang lain. Sebagaima-na prasasti pada dasarnya bisa digunakan untuk merekam sumpah serapah dan kutukan, media ini juga baik untuk mencatat epos para jagoan kultural di setiap masa. Keramik saya rasa cocok untuk merekam berbagai bentuk kejayaan-kejayaan semu, karena dimensi kesementaraan dan kerapuhan merupakan konsekuensi logis yang inheren dalam medium ini.
Deskripsi Karya
Teks diambil dari sebuah meme yang pada saat karya ini selesai dibuat, baru disadari bahwa itu adalah kutipan Nietzsche. Ilustrasi dari meme tersebut berasal dari komik strip Amerika berjudul The Family Circus. Mulanya saya tertarik pada meme ini karena jukstaposisi ilustrasi yang manis dan bersahabat disandingkan dengan teks yang getir; all things are subject to interpretation, whichever interpretation prevails at any given time is a function of power and not truth.
Asosiasi saya kepada teks ini berkaitan dengan pengamatan personal tentang bagaimana dunia bekerja. Saya mendapati bahwa medan sosial seni rupa adalah sebuah subkultur turunan dari masyarakat luas sebagai ekosistem utamanya. Hidup di dalam masyarakat demokratis asal-asalan yang korup penuh mistranslasi, medan sosial seni pun tidak kebal terhadap malpraktek. Pada kenyataannya tiap-tiap spesimen seniman yang melakukan kerja intelektual sekaligus kemudian mawas diri akan keprofesiannya adalah sekumpulan minoritas jika dibandingkan dengan jumlah poser haha-hihi yang memamerkan -istilah Joan Miro- senseless junk, atau orang-orang bingung yang berpikir bahwa suatu tema tertentu secara otomatis membuat apa saja yang dibuatnya valid sebagai karya yang penting. Mengutip James Elkins “art criticism is massively produced, and massively ignored” akhirnya mekanisme produksi distribusi kerja seni yang meliputi adanya kaum bodoh banyak tingkah boleh maju naik panggung mendaku seniman adalah kenyataan hidup yang dominan. Semuanya teramplifikasi saat pasar memisahkan diri dari pengetahuan, dialektika, dan berdaulat penuh untuk menciptakan top listnya sendiri.
Teks Nietzsche saya tampilkan dengan typeface dan tata letak yang diinspirasi dari poster musik black metal. Saya melihat ini merupakan bahasa rupa yang menarik untuk mengungkapkan sebuah fenomena yang sekilas anomali dari keseharian tapi sebenarnya koheren dengan kehidupan yang paling awam sekalipun. Secara parsial subkultur memang punya tawaran antitesis dan sintesis dari nilai yang menjadi pakem masyarakat pada umumnya, tapi juga di saat bersamaan subkultur adalah wadah penyulingan terakhir di mana kesadaran kolektif masyarakat luas tentu saja bisa merembes ke dalamnya. Teks biru di atas permukaan putih sekedar mempertahankan langgam artistik keramik blue on white. Bentuk karya singular object ini terinspirasi dari prasasti batu, yang merupakan medium terbaik untuk merekam pesan penting untuk waktu yang sangat lama. Selain ingin menghadirkan keironisan yang saya tangkap dari pernyataan Nietzsche dengan membuat prasasti yang abadi sekaligus rapuh, keramik sendiri dipilih sebagai medium karena merupakan salah satu kebudayaan material tertua di dunia. Hal itu saya rasa cocok sebangun seruang dengan dugaan bahwa sejak awal peradaban manusia kekuasaan/kekuatan adalah substansi yang utama, kemudian mungkin kebenaran boleh dinegosiasi di bawahnya.
Deskripsi Karya
Dengan kesadaran yang tepat, memasak pun bisa menjadi kegiatan meditatif dan setiap subyek yang kita jumpai bisa menjadi materi perenungan dan refleksi. Keramik yang disangga kawat baja ini adalah bagian dari seri karya Kaca Rias yang terinspirasi dari fenomena umum di mana manusia mengalami diskrepansi kognitif dalam proses-proses aktualisasi diri. Di dalam kehidupan, dan juga dalam dunia seni, kekuasaan adalah substansi utama. Banyak nilai lain di sekitarnya perlu disesuaikan berulang kali untuk mengakomodasi dan mengkonsolidasi entitas tersebut. Keramik adalah medium yang dipilih untuk merekam kesaksian-kesaksian yang saya rasa penting untuk disorot dalam nuansa yang sebangun seruang dengan dualitas karakter inheren material tersebut; abadi sekaligus fana, tahan lama sekaligus rapuh.
Bisa jadi, tidak ada manusia yang terlahir membawa impian bahwa dirinya ingin menjadi insan yang terbelakang. Kemungkinan besar, kemiskinan lahir dan bathin memang bukanlah fenomena alamiah, melainkan konsekuensi logis dari sebuah sistem tata kelola yang sedang berlangsung. Meski begitu, hidup terus berlanjut dan mungkin dalam perjalanannya segala hal —tanpa pembaharuan pemahaman dan praksis— akan terus menerus pudar vitalitasnya. Orang yang beruntung masih bisa melakukan studi mandiri mungkin akan mendapati pemahamannya yang lama direvisi berulang kali demi keselamatan jiwanya sendiri. Semakin cepat seorang manusia menyocokkan apa yang ada di kepalanya dengan apa yang terjadi di dunia, semakin orang tersebut akan merasa tentram. Tidak semua orang mampu hidup dengan keren, karena sering kita temui sendiri bahwa bertahan hidup saja sudah menjadi sesuatu yang keren.
Deskripsi Karya
Dengan kesadaran yang tepat, memasak pun bisa menjadi kegiatan meditatif dan setiap subyek yang kita jumpai bisa menjadi materi perenungan dan refleksi. Keramik yang disangga kawat baja ini adalah bagian dari seri karya Kaca Rias yang terinspirasi dari fenomena umum di mana manusia mengalami diskrepansi kognitif dalam proses-proses aktualisasi diri. Di dalam kehidupan, dan juga dalam dunia seni, kekuasaan adalah substansi utama. Banyak nilai lain di sekitarnya perlu disesuaikan berulang kali untuk mengakomodasi dan mengkonsolidasi entitas tersebut. Keramik adalah medium yang dipilih untuk merekam kesaksian-kesaksian yang saya rasa penting untuk disorot dalam nuansa yang sebangun seruang dengan dualitas karakter inheren material tersebut; abadi sekaligus fana, tahan lama sekaligus rapuh.
Bisa jadi, tidak ada manusia yang terlahir membawa impian bahwa dirinya ingin menjadi insan yang terbelakang. Kemungkinan besar, kemiskinan lahir dan bathin memang bukanlah fenomena alamiah, melainkan konsekuensi logis dari sebuah sistem tata kelola yang sedang berlangsung. Meski begitu, hidup terus berlanjut dan mungkin dalam perjalanannya segala hal —tanpa pembaharuan pemahaman dan praksis— akan terus menerus pudar vitalitasnya. Orang yang beruntung masih bisa melakukan studi mandiri mungkin akan mendapati pemahamannya yang lama direvisi berulang kali demi keselamatan jiwanya sendiri. Semakin cepat seorang manusia menyocokkan apa yang ada di kepalanya dengan apa yang terjadi di dunia, semakin orang tersebut akan merasa tentram. Tidak semua orang mampu hidup dengan keren, karena sering kita temui sendiri bahwa bertahan hidup saja sudah menjadi sesuatu yang keren.