Dadang Rukmana

Dengan teknik melukis apropriasi Dadang Rukmana menghadirkan kembali sosok-sosok perempuan yang menjadi pokok lukisan-lukisan terkenal. Apakah itu “Ibu” karya Affandi atau “A Girl with Pearl Earring” karya Johannes Vermeer atau “Di Depan Kelambu Terbuka” karya Sudjojono. Dadang melukis kembali sosok-sosok itu dengan teknik baru, yakni dengan cara meneteskan cat air ke atas bidang kertas sehingga membentuk rupa yang diinginkan—bukan memulasnya dengan kuas. Sekali waktu, ia melukis bunga-bunga dengan keserupaan yang sangat fotografis, tetapi dengan warna-warna monokrom.

Dadang Rukmana dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 10 Oktober 1964. Ia belajar melukis kepada Barli Sasmitawinata di Studio Seni Rupa Rangga Gempol, Bandung, sepanjang 1982-1985. Pameran karyanya yang terpenting, salah satunya, adalah Tetes di Semarang Gallery, pada 2015. Itulah pameran yang memperkenalkan teknik melukis yang menjadi ciri khas Dadang selanjutnya. Pameran tunggalnya yang lain, misalnya, History (Will Teach Us Nothing) di Nadi Gallery, Jakarta, 2010 dan One Man Show di Bamboo Gallery, Ubud, Bali, 1989.

Adapun pameran bersama yang pernah diikuti Dadang, antara lain, adalah Dunia Belum Sudah di Semarang Gallery, 2024; Representasi #4 di Pendhapa Art Space, Yogyakarta, 2021; Homo Ludens #3 di Emmitan Contemporary Art Gallery, Surabaya, 2012; Transfiguration dengan Semarang Gallery, di Jakarta Art District, Jakarta, 2010; dan Twenty Fo(u)r Maestro di V-Art Gallery, Yogyakarta, dan Orasis Art Gallery, Surabaya, 2007.

Karya-karya Dadang bukan hanya dipamerkan, tetapi juga ditelaah oleh para kurator, misalnya dalam buku Bergerak dari Pinggir diterbitkan Basa Basi pada 2018. Atau, Sesudah Aktivisme (Sepilihan Esai Seni Rupa 10994-1995) karya Enin Supriyanto, Hyphen, 2015. Karyanya juga beroleh penghargaan, misalnya, Penghargaan Seniman Jawa Timur dari Gubernur Jawa Timur, Surabaya, 2024.