Platform

Seniman, dengan caranya masing-masing, selalu mencari jalan-jalan baru untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Kali ini, mereka merefleksikannya dalam keragaman praktik seni rupa mulai karya-karya otonom sampai kolaboratif. Semua itu disuguhkan untuk menjadi bagian penting dalam upaya ikut memetakan seni rupa kontemporer Indonesia.

Irisan Arsitektur

Di kota ini, yang mungkin dianggap penting adalah uang dan berdagang, dan berkesenian akan segera ditinggalkan begitu dirasa merepotkan. Atau berkesenian hanyalah sebuah dekorasi pada sebuah perayaan? Bukankah dalam kedaruratan atau ketergesaan, kita hanya akan membawa yang kita anggap perlu dan berguna. Dan apa yang lebih tepat menggambarkan kepalsuan dan kejujuran sebuah kota secara bersamaan, selain sebuah perayaan yang diguyur hujan secara tiba-tiba. 

 

Yang tersisa dari sebuah pesta makan yang mendadak bubar dan ditinggalkan, adalah lampion-lampion merah basah yang bergantung dan bergoyang. Tepat dibawahnya adalah alat-alat makan yang berserak berantakan, terlalu merepotkan untuk dibawa serta oleh penggunanya.  

 

Tapi yang tersisa tersebut akan tetap di tempatnya, bertahan dari perubahan cuaca. Terdiam, teguh dan kokoh, menolak untuk ikut berpindah posisi. 

Dan ketika hujan pada akhirnya reda, lampion tetap menyala, dan dibawahnya, meja dan kursi yang basah segera dikeringkan. Pesta makan kembali dimulai dan dipenuhi riuh rendah suara orang berbicara. 

Dan yang bertahan, meski ditinggalkan, ternyata diperlukan.

Sajak diatas adalah pengantar, bagaimana karya ini bercerita tentang Perayaan, hujan yang turun tidak dari langit, dia hadir bersama nyala lampion yang mengiringi sebuah perayaan. Tepat dibawahnya  terefleksi sebuah paradox, sendok sendok yang tidak digunakan untuk makan, sesuatu yang tetap hadir kokoh tidak mau berpindah. Realitas yang selalu hadir dan abadi.

Rahmat ‘Kibo’ Indrani
2024
9 x 12 m
Multimodular material

How can horror be integrated into the contemporary practice of reading and creating architecture?

I argue that horror continues to haunt our physical environments and aesthetic theorization, inherent in modernity and problematically sublimated through design. It manifests in the work of the negative avant-garde and post-humanist or dystopian projects. Horror acts as a leitmotif in architecture undergoing constant transformation, often revealing an ambivalence toward traditional aesthetics. It frequently emerges at the historical intersection of language and type, where established architectural vocabularies are strained by the demands of accelerated socio-economic development. The resulting transitional buildings often appear ill-formed, with design elements that are maladapted to their function. Architects are compelled to use familiar conventions in ungrammatical ways because a new language has yet to evolve to address the aesthetic challenges of emerging architectural forms. Horror surfaces when techniques from one era are applied to the needs of another.

So, what does such a building look like?

Consider the transformations of heritage sites in Bubatan area of Surabaya, a heritage site now crowded with economic districts, the traditional Indische colonial architecture has morphed into an unrecognizable, chaotic assemblage. Buildings are mutilated, with mismatched architectural elements—windows, ornaments, doors—haphazardly combined. This disruption of compositional order evokes horror, as if architecture itself were a being whose natural harmony has been disturbed. Here, horror also symbolizes the loss of memory and the gradual transformation into an unknown, monstrous architectural form.

And, the artworks?

The artwork play role as part of critical spatial practice that enacts the gradual transformation of several old buildings within a single streetscape. These old building structures stand amid modern buildings, their masses and architectural features extended and intertwined in dissonant ways, as if the old is being engulfed by the new. The installation consists of decaying old buildings, symbolizing the passage of time, juxtaposed with modern architecture whose façades are constantly evolving, driven by a generative algorithm video mapping. This dynamic contrast underscores the tension between preservation and progress, crafting a visual narrative of architectural dissonance and transformation. It evokes a sense of horror within our built environment, a phenomenon occurring across Indonesian cityscapes, not just in Surabaya.

Dea Widya x Kevin Djuniadi
2024
Dimensi variatif
Tanah liat tanpa bakar, akrilik, dan pemetaan video
Instalasi
Budi Pradono x Farhan Siki
2024
2,5 x 30 x 5 m
Instalasi
Instalasi

Dengan adanya rumah yang memeluk halaman rumah yang luas ditengah – tengahnya, menghadirkan bentuk masif pada entrance menyambut perasaan menantikan untuk tamu.

Andra Matin
2024
130 x 370 x 330 mm
Kayu balsa, papan MDF
Objek

Pohon palem berperan seolah olah seperti kolom, yang menopang lantai bangunan sehingga terlihat seperti rumah panggung.

Andra Matin
2024
160 x 400 x 270 mm
Kayu balsa, papan MDF
Objek

Tata ruang yang silang menyilang antar satu sama lain memungkinkan adanya pemandangan dari sudut manapun, sehingga tiap ruang memiliki potensi yang sama.

Andra Matin
2024
140 x 330 x 340 mm
Kayu balsa, papan MDF
Objek
Scroll to Top