Platform

Seniman, dengan caranya masing-masing, selalu mencari jalan-jalan baru untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Kali ini, mereka merefleksikannya dalam keragaman praktik seni rupa mulai karya-karya otonom sampai kolaboratif. Semua itu disuguhkan untuk menjadi bagian penting dalam upaya ikut memetakan seni rupa kontemporer Indonesia.

Fotografi dan Cetak Grafis

Fenomena transaksi jula beli suara dalam momen pemilu saat

ini menjadi sesuatu yang sudah dianggap wajar. Memilih

pemimpin tidak lagi mempeertimbangkan Amanah, berani,

jujur, adil dll, tetapi memilih pemimpin berdasarkan uang yang

diberikan melalui transaksi pemberian amplop.

Muhlis Lugis
2024
90 x 130 cm
Cetakan ukiran kayu, pewarnaan tangan dengan akrilik dan minyak di atas kanvas
Seni Cetak

Maddoja bine (begadang semalam suntuk menjaga benih

padi) sebagai bentuk ritual penghormatan kepada Sangiang

Serri yang dilaksanakan sebelum menanam padi di sawah.

Maddoja bine ini dilakukan dengan begadang semalam atau

bahkan tiga malam suntuk menunggu bibit beni padi yang

disemai tunas-tunas mudanya sudah mulai muncul. Benih padi

yang disemai dimasukkan ke dalam wadah kemudian

diletakkan pada posi bola (tiang tengah rumah). Maddoja bine

dilaksanakan dengan massureq yang merupakan pembacaan

Lontara meongpalo karellae. Maddoja bine ini dilakukan denga

harapan keberhasilan dalam proses menanam padi.

Muhlis Lugis
2021
120 x 180 cm
Cetakan ukiran kayu di atas kanvas
Seni Cetak

Meong palo karellae merupakan seekor kucing belang tiga

warna yang setia kepada Sangiang Serri (dewi padi).

Kesetiaan meongpalo kepada Sangiang Serrri tidak pernah

pudar selama dalam proses pengembaraanya mencari

prilaku yang baik (pangngadereng). Meongpalo senantiasa

menunggu dan menjaga Sangiang Serri yang selalu

bersemayam di rakkeang (bagian atas rumah) yang

merupakan lumbung tempat penyimpanan padi pada bagian

atas rumah bugis.

Muhlis Lugis
2021
110 x 150 cm
Cetakan ukiran kayu di atas kanvas
Seni Cetak

Karya ini adalah gambaran ingatan dan masa depan dari kumpulan pesan rekonsiliasi
ingatan masa lalu, yang terkait dengan ingatan kolektif tentang tragedi yang terjadi di
Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, antara etnis Dayak dan Madura.
Tragedi yang kerap membawa kita kembali pada titik di mana melankolia
berada,kepada pengampunan atas segala yang mungkin yang tak bisa diampuni.
Tragedi yang semula tidak kita kenal, yang mendorong diri kita kepada cara hidup untuk
percaya pada sesuatu yang bercahaya, yakni sebuah harapan.
Karya ini tentang limitasi tubuh, perjalanan atas tragedi, serta upaya meretas transmisi
memori traumatis yang diturunkan pasca ingatan.
Sebuah tragedi telah berlalu, melewati cerita dengan tergesa-gesa, meninggalkan luka
dengan tergesa-gesa. Diri, tubuh, serta batasan pada lanskap yang asing telah berada
pada titik kehilangannya. Ia ditekan pada tetesan darah terakhir, air mata terakhir, pada
suara denyut jantung yang putus asa, pada 1400 kilometer cahaya lampu yang
dipadamkan antara Pulau Madura dan Kalimantan, pada gema ruang yang begitu
merampas suara-suara lipatan kertas koran yang dibaca di ruang tunggu pada tahun
1999 di bulan Februari.
Sejarah yang tergetar, memanglah sejarah yang terpotong lidahnya… rasa nyeri
bercampur aduk dengan hasrat untuk berkata-kata. Namun sejarah dalam kebisuanya
tetap berupaya merekam, menjahit segala kebenaran: dari puluhan foto yang
kehilangan warna, dari ratusan teks yang terpenggal dan terbakar, dari kebenaran akan
kesaksian yang benar-benar tidak pernah dibenarkan…dan dari segala apapun itu,
sejarah manusia, sejarahku dan sejarah kita kini telah benar-benar memproyeksikan
konstruksi kehilangan yang menggetarkan, dengan menampilkan pengulangan tentang
tragedi dari lanskap yang asing.

Suvi Wahyudianto
2024
80 x 120 cm, seri 1/5
Fotografi, terpal
Fotografi

Karya ini adalah gambaran ingatan dan masa depan dari kumpulan pesan rekonsiliasi
ingatan masa lalu, yang terkait dengan ingatan kolektif tentang tragedi yang terjadi di
Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, antara etnis Dayak dan Madura.
Tragedi yang kerap membawa kita kembali pada titik di mana melankolia
berada,kepada pengampunan atas segala yang mungkin yang tak bisa diampuni.
Tragedi yang semula tidak kita kenal, yang mendorong diri kita kepada cara hidup untuk
percaya pada sesuatu yang bercahaya, yakni sebuah harapan.
Karya ini tentang limitasi tubuh, perjalanan atas tragedi, serta upaya meretas transmisi
memori traumatis yang diturunkan pasca ingatan.
Sebuah tragedi telah berlalu, melewati cerita dengan tergesa-gesa, meninggalkan luka
dengan tergesa-gesa. Diri, tubuh, serta batasan pada lanskap yang asing telah berada
pada titik kehilangannya. Ia ditekan pada tetesan darah terakhir, air mata terakhir, pada
suara denyut jantung yang putus asa, pada 1400 kilometer cahaya lampu yang
dipadamkan antara Pulau Madura dan Kalimantan, pada gema ruang yang begitu
merampas suara-suara lipatan kertas koran yang dibaca di ruang tunggu pada tahun
1999 di bulan Februari.
Sejarah yang tergetar, memanglah sejarah yang terpotong lidahnya… rasa nyeri
bercampur aduk dengan hasrat untuk berkata-kata. Namun sejarah dalam kebisuanya
tetap berupaya merekam, menjahit segala kebenaran: dari puluhan foto yang
kehilangan warna, dari ratusan teks yang terpenggal dan terbakar, dari kebenaran akan
kesaksian yang benar-benar tidak pernah dibenarkan…dan dari segala apapun itu,
sejarah manusia, sejarahku dan sejarah kita kini telah benar-benar memproyeksikan
konstruksi kehilangan yang menggetarkan, dengan menampilkan pengulangan tentang
tragedi dari lanskap yang asing.

Suvi Wahyudianto
2024
80 x 120 cm, seri 1/5
Fotografi, terpal
Fotografi
Indra Leonardi
2024
120 x 120 cm
Cetakan di atas kanvas Hahnemühle
Fotografi
Scroll to Top