Platform
Seniman, dengan caranya masing-masing, selalu mencari jalan-jalan baru untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Kali ini, mereka merefleksikannya dalam keragaman praktik seni rupa mulai karya-karya otonom sampai kolaboratif. Semua itu disuguhkan untuk menjadi bagian penting dalam upaya ikut memetakan seni rupa kontemporer Indonesia.
Fotografi dan Cetak Grafis
Deskripsi Karya
Fenomena transaksi jula beli suara dalam momen pemilu saat
ini menjadi sesuatu yang sudah dianggap wajar. Memilih
pemimpin tidak lagi mempeertimbangkan Amanah, berani,
jujur, adil dll, tetapi memilih pemimpin berdasarkan uang yang
diberikan melalui transaksi pemberian amplop.
Deskripsi Karya
Maddoja bine (begadang semalam suntuk menjaga benih
padi) sebagai bentuk ritual penghormatan kepada Sangiang
Serri yang dilaksanakan sebelum menanam padi di sawah.
Maddoja bine ini dilakukan dengan begadang semalam atau
bahkan tiga malam suntuk menunggu bibit beni padi yang
disemai tunas-tunas mudanya sudah mulai muncul. Benih padi
yang disemai dimasukkan ke dalam wadah kemudian
diletakkan pada posi bola (tiang tengah rumah). Maddoja bine
dilaksanakan dengan massureq yang merupakan pembacaan
Lontara meongpalo karellae. Maddoja bine ini dilakukan denga
harapan keberhasilan dalam proses menanam padi.
Deskripsi Karya
Meong palo karellae merupakan seekor kucing belang tiga
warna yang setia kepada Sangiang Serri (dewi padi).
Kesetiaan meongpalo kepada Sangiang Serrri tidak pernah
pudar selama dalam proses pengembaraanya mencari
prilaku yang baik (pangngadereng). Meongpalo senantiasa
menunggu dan menjaga Sangiang Serri yang selalu
bersemayam di rakkeang (bagian atas rumah) yang
merupakan lumbung tempat penyimpanan padi pada bagian
atas rumah bugis.
Deskripsi Karya
Karya ini adalah gambaran ingatan dan masa depan dari kumpulan pesan rekonsiliasi
ingatan masa lalu, yang terkait dengan ingatan kolektif tentang tragedi yang terjadi di
Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, antara etnis Dayak dan Madura.
Tragedi yang kerap membawa kita kembali pada titik di mana melankolia
berada,kepada pengampunan atas segala yang mungkin yang tak bisa diampuni.
Tragedi yang semula tidak kita kenal, yang mendorong diri kita kepada cara hidup untuk
percaya pada sesuatu yang bercahaya, yakni sebuah harapan.
Karya ini tentang limitasi tubuh, perjalanan atas tragedi, serta upaya meretas transmisi
memori traumatis yang diturunkan pasca ingatan.
Sebuah tragedi telah berlalu, melewati cerita dengan tergesa-gesa, meninggalkan luka
dengan tergesa-gesa. Diri, tubuh, serta batasan pada lanskap yang asing telah berada
pada titik kehilangannya. Ia ditekan pada tetesan darah terakhir, air mata terakhir, pada
suara denyut jantung yang putus asa, pada 1400 kilometer cahaya lampu yang
dipadamkan antara Pulau Madura dan Kalimantan, pada gema ruang yang begitu
merampas suara-suara lipatan kertas koran yang dibaca di ruang tunggu pada tahun
1999 di bulan Februari.
Sejarah yang tergetar, memanglah sejarah yang terpotong lidahnya… rasa nyeri
bercampur aduk dengan hasrat untuk berkata-kata. Namun sejarah dalam kebisuanya
tetap berupaya merekam, menjahit segala kebenaran: dari puluhan foto yang
kehilangan warna, dari ratusan teks yang terpenggal dan terbakar, dari kebenaran akan
kesaksian yang benar-benar tidak pernah dibenarkan…dan dari segala apapun itu,
sejarah manusia, sejarahku dan sejarah kita kini telah benar-benar memproyeksikan
konstruksi kehilangan yang menggetarkan, dengan menampilkan pengulangan tentang
tragedi dari lanskap yang asing.
Deskripsi Karya
Karya ini adalah gambaran ingatan dan masa depan dari kumpulan pesan rekonsiliasi
ingatan masa lalu, yang terkait dengan ingatan kolektif tentang tragedi yang terjadi di
Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, antara etnis Dayak dan Madura.
Tragedi yang kerap membawa kita kembali pada titik di mana melankolia
berada,kepada pengampunan atas segala yang mungkin yang tak bisa diampuni.
Tragedi yang semula tidak kita kenal, yang mendorong diri kita kepada cara hidup untuk
percaya pada sesuatu yang bercahaya, yakni sebuah harapan.
Karya ini tentang limitasi tubuh, perjalanan atas tragedi, serta upaya meretas transmisi
memori traumatis yang diturunkan pasca ingatan.
Sebuah tragedi telah berlalu, melewati cerita dengan tergesa-gesa, meninggalkan luka
dengan tergesa-gesa. Diri, tubuh, serta batasan pada lanskap yang asing telah berada
pada titik kehilangannya. Ia ditekan pada tetesan darah terakhir, air mata terakhir, pada
suara denyut jantung yang putus asa, pada 1400 kilometer cahaya lampu yang
dipadamkan antara Pulau Madura dan Kalimantan, pada gema ruang yang begitu
merampas suara-suara lipatan kertas koran yang dibaca di ruang tunggu pada tahun
1999 di bulan Februari.
Sejarah yang tergetar, memanglah sejarah yang terpotong lidahnya… rasa nyeri
bercampur aduk dengan hasrat untuk berkata-kata. Namun sejarah dalam kebisuanya
tetap berupaya merekam, menjahit segala kebenaran: dari puluhan foto yang
kehilangan warna, dari ratusan teks yang terpenggal dan terbakar, dari kebenaran akan
kesaksian yang benar-benar tidak pernah dibenarkan…dan dari segala apapun itu,
sejarah manusia, sejarahku dan sejarah kita kini telah benar-benar memproyeksikan
konstruksi kehilangan yang menggetarkan, dengan menampilkan pengulangan tentang
tragedi dari lanskap yang asing.