Perulangan
Deskripsi Karya
Yuli Prayitno kerap menggunakan benda-benda yang dengan mudah bisa kita kenali dari kehidupan sehari-hari kita, seperti cabai, kursi, peta, hati, payung, dan telinga, misalnya. Yuli menggunakan benda-benda ini demi pemirsa karyanya. Supaya para pemirsa tidak memicingkan mata kemudian melangkah pergi sembari menggumamkan tuduhan umum pada karya seni, “Enggak ngerti, ah. Susah.” Selain itu, benda-benda temuan memang kerap jadi titik berangkat dalam praktik artistik Yuli. Seringkali, benda-benda ini fungsional dalam kehidupan sehari-hari dan berasal dari periode waktu yang berbeda-beda—misalnya, peta dari era Majapahit, kursi bermodel peranakan dari paruh kedua abad ke-192, radio dari awal 1960-an, dan seterusnya.
Aspek restorasi yang kerap muncul—kalau bukan terdepan—dari kekaryaan Yuli adalah upayanya menghargai barang-barang temuannya ini beserta sejarah estetiknya. Bagaimana barang-barang ini dibuat dan digunakan mau tak mau berkelindan dengan sejarah sosialnya dan bisa menggambarkan satu aspek dalam kehidupan bermasyarakatnya. Sementara, sejarah bahan dasar sang benda bertautan dengan kemajuan teknologi pengolahannya. Misalnya, kapan batu mulia ditempa dengan cara tertentu? Atau, alat apa yang digunakan untuk menghasilkan motif ukir tertentu? Bagaimana benda temuan yang memukaunya itu dulu digunakan? Pada tahun berapa ia dibuat? Siapa pemiliknya? Perubahan macam apa saja yang dilalui benda itu? Demikian pertanyaan-pertanyaan arkeologis atau sejarah ini bisa terus berlanjut. Namun, Yuli bukanlah seseorang yang akan repot-repot menceritakan riset dibalik pembuatan karyanya, apalagi menjadikannya alasan penciptaan.
Keengganannya berbagi penelusurannya ini bukan karena ia malu atau pelit, melainkan karena gubahannya adalah bagaimanapun juga karya seni. Dan, ekspresi atau representasi bukan apa yang dibayangkannya bisa dilakukan oleh sebuah karya hari ini. Yuli percaya betul bahwa karyanya bebas dimaknai oleh pemirsanya. Seperti halnya bagaimana ia memaknai benda-benda temuannya ini melalui aksi restorasi kemudian menghargainya dengan memberinya nilai baru dalam konstelasi gubahan karyanya. Kalau ada ‘tugas’ yang dititipkan Yuli pada gubahan-gubahannya ini, rasanya ‘sesederhana’ memantik pengalaman estetik tertentu.
Mari kita tilik, Perulangan (2022) yang hadir di hadapan kita ini. Sebuah sebuah konstelasi benda yang bisa segera kita kenali. Mahkota, pedestal jok, dan perangkap binatang. Sang mahkota terbuat dari pensil warna kayu, beludru merah, lengkap dengan tatahan batu mulia. Sang mahkota ini diletakkan Yuli di atas semacam pedestal jok berlapis kulit berwarna alami. Pedestal yang menadahi mahkota ini diletakkan Yuli di atas sebuah perangkap binatang yang berukuran amat sangat besar. Konstelasi barang ini dilengkapi dengan dentuman keras, bunyi tabrakan sesuatu yang berbahan logam berat.
Tak aneh kalau kita akan segera menghubungkan dentuman yang mengejutkan ini dengan si perangkap binatang raksasa. Segera saja imajinasi membawa kita pada sebuah kemungkinan mengerikan: Perangkap gigantik itu menjerat sesuatu di hadapan mata kita, di ruang di mana ia hadir. Di sebuah ruang pamer yang seolah steril—atau paling tidak terpisah—dari kenyataan hidup sehari-hari yang akan kita hadapi lagi setelah kita melangkah pergi dari perhelatan seni ini. Ruang—maka juga waktu—adalah salah satu kata kunci untuk perlahan mengupas kasanah praktik seorang Yuli Prayitno. Baginya, ruang adalah medan sosial di mana ia, juga kita, adalah bagian dari sebuah tatanan masyarakat yang sama-sama punya peran, fungsi, serta dinamika dalam kehidupan masing-masing.
Apa yang dipikirkan Yuli? Apa yang ingin disampaikan Yuli? Keduanya mungkin tidak penting. Toh, kita bebas membaca karya ini sebagai simbol-simbol yang mewakili apapun yang sedang menjadi pikiran kita. Mahkota bisa berarti kekuasaan, perangkap boleh jadi melambangkan adanya pengganggu yang mesti dihentikan, perangkap diperbesar jangan-jangan karena yang mau ditangkap bukan hama kecil semacam tikus, dan seterusnya. Segelintir tulisan mengenai praktik artistik Yuli kerap mengedepankan kelihaian tekniknya mengolah dan menempa beragam bahan, mulai dari kayu, resin, karet, silikon, logam, kaca, keramik, dan seterusnya, dalam hubungannya dengan mengubah persepsi atau menantang anggapan umum atas benda yang digarapnya. Kepiawaiannya ini sering dihubungkan dengan bagaimana tradisi atau sejarah bisa dimaknai dengan kacamata kontemporer.3
Butuh ruang yang lain sama sekali untuk menelusuri satu per satu bahan yang digunakan Yuli, seturut teknik pengolahannya. Peran sekaligus makna pensil warna telah digunakannya sejak paruh 2000-an, misalnya; atau bagaimana kulit, besi, dan batu mulia juga bukan pertama kali digarapnya.
Kalau pertanyaannya kita ubah menjadi: Pengalaman macam apa yang ingin digugah Yuli? Kita jadi punya kesempatan menjawab pertanyaan ini dengan menelisik apa yang tampak, apa yang hadir, dan apa bisa kita alami di dalam ruang pamer. Secara rupa, Perulangan (2022) mengejutkan kita karena perbesaran yang dilakukan Yuli pada benda yang bisa kita kenali sebagai model lawas dari perangkap binatang itu. Belum lagi bagaimana karat menyertai benda besar ini dengan alamiah. Memang Yuli sempat memendamnya dalam tanah, meninggalkannya di bawah terpaan terik mentari, membiarkannya diguyur hujan, dan bahkan tergenang. Semua demi memunculkan apa yang mungkin dilalui benda berbahan besi seturut waktu. Alih-alih keju seperti yang lazim kita temukan dalam buku komik atau film kartun, mahkota bertatah batu
mulia yang diletakkan sebagai pancingan dengan hati- hati namun bermartabat—di atas jok berlapis kulit. Tak
pelak terbersit tanya, binatang macam apa yang ingin ditangkap dengan mahkota sebagai pancingannya?
Sebelum tiba di hadapan Perulangan (2022), bunyi dedentumannya sebenarnya sudah terdengar. Namun,
lazim juga kalau kita luput menyadarinya karena hiruk- pikuk dan keriaan di sekitar keberadaan karya. Setelah
berdiri di sekitar atau di hadapan Perulangan (2022), dentuman ini baru bekerja. Dengan segera dentuman ini akan mengejutkan kita, sekaligus memantik miris, ngeri, atau bahkan ketakutan. Begitu kita menghubungkan dentuman itu dengan sang perangkap gigantik, segala perasaan yang terpantik barusan menjadi semakin kuat. Jeda waktu dentuman ini juga tak mudah diterka seperti petasan atau kembang api di malam tahun baru—yang tak akan bertahan lebih dari 30 menit. Ketidakpastian aural—dan temporal—ini menambah keseraman kehadiran sang perangkap raksasa. Segera saja hilang sudah keindahan sang mahkota, betapapun luar biasanya renik pengerjaannya—pensil warna yang dijadikan satu sebelum dipahat, kelindan kain beludru merah yang menjadikannya royal, dan megahnya tatahan batu mulia sekalipun.
Kita akan harus melangkah pergi dari kengerian ini—entah karena takut, sebal, gemas, tidak tertarik, atau habis waktu. Begitu melangkah ke luar, lenyaplah Perulangan (2022). Namun, teror belum berakhir. Dentuman itu masih akan terdengar, sekalipun semakin jauh kita melangkah ia menjadi semakin lamat. Setiap dentuman, lamat sekalipun, memungkinkan kengerian tadi untuk kembali. Bahkan setelah kita kembali ke dalam kehidupan sehari-hari, pergi dari ruang di mana karya-karya seni diberikan panggung serta lelampuan, gema dentuman itu sangat mungkin masih tertempel di dalam pikiran kita. Berikut dengan horor yang dipantiknya.