Biografi Singkat

Biografi Singkat

white BG

Suvi Wahyudianto

b. 1992
Bangkalan, Madura

Lukisan, instalasi, hingga karya rupa berbasis teks ciptaan Suvi Wahyudianto dikerjakan dengan pendekatan etnografis Madura. Melalui pendekatan tersebut, seniman kelahiran Bangkalan, Madura, 28 April 1992, ini pernah mengangkat sejarah konflik etnis di Kalimantan melalui karya berjudul “Angst” yang mengantarkannya sebagai pemenang dalam UOB Painting of the Year Award 2018 di Indonesia dan Asia Tenggara.

Suvi menempuh pendidikan formal seni rupa di Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya dan berlanjut ke Magister Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung yang ia selesaikan pada 2023. Karya-karyanya terpajang dalam enam pameran tunggal sepanjang kariernya. Tiga yang terakhir adalah Setelah Pertunjukan Itu . . . ! di Goethe-Institut, Jakarta, 2024; Di Antara Tapal di CAN’S Gallery, Jakarta, 2023, dan Inersia, Mari, Hymne pada Kehilangan di C2O Gallery, Surabaya, 2022. Sementara pameran bersama yang pernah ia ikuti, antara lain, adalah Art Central di Central Harbourfront, Hong Kong dan Beyond Elasticity di Jagad Gallery, Jakarta, keduanya pada 2024.

Suvi beroleh penghargaan Prince Claus Seed Award 2024, dan pemenang untuk kategori Young Artist Award di ARTJOG MMXXI, Yogyakarta, 2021. Ia juga pernah mendapat kesempatan menjadi seniman mukiman di Tulang Bawang Barat, Lampung, dan Studio Hanafi, Depok, Jawa Barat.

Karya Seni

Karya ini adalah gambaran ingatan dan masa depan dari kumpulan pesan rekonsiliasi
ingatan masa lalu, yang terkait dengan ingatan kolektif tentang tragedi yang terjadi di
Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, antara etnis Dayak dan Madura.
Tragedi yang kerap membawa kita kembali pada titik di mana melankolia
berada,kepada pengampunan atas segala yang mungkin yang tak bisa diampuni.
Tragedi yang semula tidak kita kenal, yang mendorong diri kita kepada cara hidup untuk
percaya pada sesuatu yang bercahaya, yakni sebuah harapan.
Karya ini tentang limitasi tubuh, perjalanan atas tragedi, serta upaya meretas transmisi
memori traumatis yang diturunkan pasca ingatan.
Sebuah tragedi telah berlalu, melewati cerita dengan tergesa-gesa, meninggalkan luka
dengan tergesa-gesa. Diri, tubuh, serta batasan pada lanskap yang asing telah berada
pada titik kehilangannya. Ia ditekan pada tetesan darah terakhir, air mata terakhir, pada
suara denyut jantung yang putus asa, pada 1400 kilometer cahaya lampu yang
dipadamkan antara Pulau Madura dan Kalimantan, pada gema ruang yang begitu
merampas suara-suara lipatan kertas koran yang dibaca di ruang tunggu pada tahun
1999 di bulan Februari.
Sejarah yang tergetar, memanglah sejarah yang terpotong lidahnya… rasa nyeri
bercampur aduk dengan hasrat untuk berkata-kata. Namun sejarah dalam kebisuanya
tetap berupaya merekam, menjahit segala kebenaran: dari puluhan foto yang
kehilangan warna, dari ratusan teks yang terpenggal dan terbakar, dari kebenaran akan
kesaksian yang benar-benar tidak pernah dibenarkan…dan dari segala apapun itu,
sejarah manusia, sejarahku dan sejarah kita kini telah benar-benar memproyeksikan
konstruksi kehilangan yang menggetarkan, dengan menampilkan pengulangan tentang
tragedi dari lanskap yang asing.

Suvi Wahyudianto
2024
80 x 120 cm, seri 1/5
Fotografi, terpal
Fotografi

Karya ini adalah gambaran ingatan dan masa depan dari kumpulan pesan rekonsiliasi
ingatan masa lalu, yang terkait dengan ingatan kolektif tentang tragedi yang terjadi di
Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, antara etnis Dayak dan Madura.
Tragedi yang kerap membawa kita kembali pada titik di mana melankolia
berada,kepada pengampunan atas segala yang mungkin yang tak bisa diampuni.
Tragedi yang semula tidak kita kenal, yang mendorong diri kita kepada cara hidup untuk
percaya pada sesuatu yang bercahaya, yakni sebuah harapan.
Karya ini tentang limitasi tubuh, perjalanan atas tragedi, serta upaya meretas transmisi
memori traumatis yang diturunkan pasca ingatan.
Sebuah tragedi telah berlalu, melewati cerita dengan tergesa-gesa, meninggalkan luka
dengan tergesa-gesa. Diri, tubuh, serta batasan pada lanskap yang asing telah berada
pada titik kehilangannya. Ia ditekan pada tetesan darah terakhir, air mata terakhir, pada
suara denyut jantung yang putus asa, pada 1400 kilometer cahaya lampu yang
dipadamkan antara Pulau Madura dan Kalimantan, pada gema ruang yang begitu
merampas suara-suara lipatan kertas koran yang dibaca di ruang tunggu pada tahun
1999 di bulan Februari.
Sejarah yang tergetar, memanglah sejarah yang terpotong lidahnya… rasa nyeri
bercampur aduk dengan hasrat untuk berkata-kata. Namun sejarah dalam kebisuanya
tetap berupaya merekam, menjahit segala kebenaran: dari puluhan foto yang
kehilangan warna, dari ratusan teks yang terpenggal dan terbakar, dari kebenaran akan
kesaksian yang benar-benar tidak pernah dibenarkan…dan dari segala apapun itu,
sejarah manusia, sejarahku dan sejarah kita kini telah benar-benar memproyeksikan
konstruksi kehilangan yang menggetarkan, dengan menampilkan pengulangan tentang
tragedi dari lanskap yang asing.

Suvi Wahyudianto
2024
80 x 120 cm, seri 1/5
Fotografi, terpal
Fotografi

Karya ini adalah gambaran ingatan dan masa depan dari kumpulan pesan rekonsiliasi
ingatan masa lalu, yang terkait dengan ingatan kolektif tentang tragedi yang terjadi di
Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, antara etnis Dayak dan Madura.
Tragedi yang kerap membawa kita kembali pada titik di mana melankolia
berada,kepada pengampunan atas segala yang mungkin yang tak bisa diampuni.
Tragedi yang semula tidak kita kenal, yang mendorong diri kita kepada cara hidup untuk
percaya pada sesuatu yang bercahaya, yakni sebuah harapan.
Karya ini tentang limitasi tubuh, perjalanan atas tragedi, serta upaya meretas transmisi
memori traumatis yang diturunkan pasca ingatan.
Sebuah tragedi telah berlalu, melewati cerita dengan tergesa-gesa, meninggalkan luka
dengan tergesa-gesa. Diri, tubuh, serta batasan pada lanskap yang asing telah berada
pada titik kehilangannya. Ia ditekan pada tetesan darah terakhir, air mata terakhir, pada
suara denyut jantung yang putus asa, pada 1400 kilometer cahaya lampu yang
dipadamkan antara Pulau Madura dan Kalimantan, pada gema ruang yang begitu
merampas suara-suara lipatan kertas koran yang dibaca di ruang tunggu pada tahun
1999 di bulan Februari.
Sejarah yang tergetar, memanglah sejarah yang terpotong lidahnya… rasa nyeri
bercampur aduk dengan hasrat untuk berkata-kata. Namun sejarah dalam kebisuanya
tetap berupaya merekam, menjahit segala kebenaran: dari puluhan foto yang
kehilangan warna, dari ratusan teks yang terpenggal dan terbakar, dari kebenaran akan
kesaksian yang benar-benar tidak pernah dibenarkan…dan dari segala apapun itu,
sejarah manusia, sejarahku dan sejarah kita kini telah benar-benar memproyeksikan
konstruksi kehilangan yang menggetarkan, dengan menampilkan pengulangan tentang
tragedi dari lanskap yang asing.

Suvi Wahyudianto
2024
80 x 120 cm, seri 1/5
Fotografi, terpal
Fotografi
Scroll to Top