Biografi Singkat
Biografi Singkat

Ivan Sagita
Surrealistik dalam karya-karya Ivan Sagita selalu berwatak setempat. Meskipun teknik jukstaposisi objek-objek lukisannya menghadirkan suasana surrealistik yang identik dengan citarasa modernisme Barat, yang tengah ia hadirkan di situ sebenarnya adalah abstraksi dari dunia batin masyarakat setempat—dalam hal ini Jawa. Yang surrealistic hadir bukan hanya melalui figur-figur, hamparan tanah, atribut atau cakrawala, tetapi juga melalui gestur tubuh dan padu-padan warna yang disajikan. Karya-karyanya menyarikan fragmen kehidupan yang sunyi sekaligus tragis, juga yang getir dan tabah di bawah bayang-bayang maut.
Ivan Sagita dilahirkan di Malang, Jawa Timur, pada 1957, dan menyelesaikan pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, pada 1985. Selama ini karya-karyanya telah beredar luas di galeri, museum dan koleksi pribadi. Pameran tunggalnya, antara lain, adalah The Look di Sarang Building, Yogyakarta, 2019; Hidup Bermuatan Mati di CP Artspace, Jakarta, 2015; Final Silence di Pulchri Studio, Den Haag, Belanda, 2011; dan They Lay Their Place di Equator Art Projects, Singapura, 2014.
Sementara pameran bersama yang sempat diikuti Ivan Sagita, misalnya People to People di Davis Gallery Contemporary Art, Copenhagen, Denmark, 2022; ARTJOG: Arts in Common-time(to)wonder” di Jogja National Museum, Yogyakarta, 2020; dan Escaping Demarcation dalam Changwon International Sculpture Biennale di Changwon Seongsan Art Centre, Korea Selatan. Belum lagi sejumlah pameran bersama lainnya di Australia dan Cina.
Pada 2003 Ivan Sagita mendapatkan penghargaan sebagai seniman mukiman di Vermont Studio Center, Amerika Serikat. Penghargaan lainnya adalah medali perak di The Osaka Triennale 1996; dan Mainichi Broadcasting System Prize dari Osaka Triennale, Jepang, 1998. Karyanya juga dikoleksi oleh Galeri Nasional Indonesia dan Museum Fatahillah, keduanya di Jakarta.
Karya Seni
Deskripsi Karya
Sering kali suatu karya dapat dibuka dari pengalaman masa kecil pembuatnya. Begini ceritanya,
“Bentar Nak, baju ini belum selesai terjahit semua, bagian lengan serta kerah juga belum terpasang, kancing-kancingnya juga. Sabar, nanti baju ini akan menjadi baju seragam sekolah yang rapi dan pas di tubuhmu.” Ibu ngatakan ini, sembari kakinya mengayun pedal mesin jahitnya. Terdengar suara yang khas ketika jarum mesin jahit ini berayun naik turun secara cepat, mematri benang-benang pada lembaran kain putih seragam itu.
Aku tak sabar. Sering ketika malam hari aku terbangun ingin liat seragam yang belum selesai itu, aku sentuh dan bayangkan bagaimana indahnya baju seragam ini bila dipakai di badan. Nempel di kulit. Di sisi pinggiran lengan bajunya akan terbentuk menjadi segaris tajam, demikian juga kerahnya yang keras berdiri melingkari leherku. Dan, tentu, teman-teman di sekolah akan ngolok-ngolok serta ngatakan bahwa lipatan lengan bajuku setajam silet. Bukan rahasia bahwa ini terbentuk karena sebelum disetrika, dibilas dengan cairan kanji.
“Benang yang digunakan merk Gajah, tipis dan kuat, ini akan merajut kencang persisi di bajumu”. Tambah ibuku, “Lalu, jahitan pinggir di bahumu juga tepat ukurannya, tak terlalu bawah ataupun atas. Karena itu baju ini akan membentuk dada menjadi terlihat tegap meski kau hanya kerempeng saja”.
Iya, baju ini akan terpakai dan melekat di kulit badanku, memberi kenyamanan lebih serta dapat menghangatkan tubuh dan perasaanku, oh ini tak hanya benda semata, tak hanya sekedar selembar kain tak berarti atau seonggok kain yang terurai mati di sudut ember atau hanya serpihan yang tergantung di jemuran, berayun nyuarakan kefanaan badan, bukan sekedar itu.
Inikah pertentangan itu, bila kain telah tersemat di badan selain menjadi satu juga dapat menyampaikan identitas pemakainya. Oke, seorang anak SD, putih dan biru tua, seragamnya. Identitas pada jam-jam sekolah.
Kembali terdengar suara mesin jahit hitam merk Singer itu berayun. Aku mengintip pelan, bagian mana yang dijahit sekarang? Ternyata pinggiran lengan, terlihat dilipat dulu sekeliling lalu dijahitnya. Nanti sisi ini seperti yang aku minta tingginya tak jauh dari siku agar bisa menutupi bagian lengan kecilku. Baju ini ternyata bukan sesuatu yang palsu. Di badan, ia benar benar menjadi bagian dari badanku, dan lewat ini aku pun bisa berkelit, sembunyikan kelemahan badanku serta lebih jauh dapat juga menjadi kesatuan dengan jiwa dan pikiranku.
Aku senang, kini giliran kancing-kancing yang akan disematkan, berurutan dari atas ke bawah. Ikatan benang di kancing aku minta menyilang dan bila selesai satu kancing terpasang, seperti biasanya Ibuku akan menggigit putus benangnya. Pada urutan kancing ketiga terlihat noktah darah, rupanya jari ibuku tertusuk jarum dan menyisakan tetesan kecil warna segar. Jangan dihapus tanda darah di dada baju ini, tanda cinta darimu telah terukir. Aku semakin sadar bahwa baju ini bukan sekedar kulit kedua asesori semata tetapi benar-benar menjadi suatu hal yang dapat melekat nyatu pada badanku. Bualan kosong tentang pembagian jiwa dan badan tak berlaku buatku.
Ibuku menaruh hatinya di kegiatan menjahit ini. Ia melakukan seakan yang di jahit adalah tubuhnya sendiri, diiring dengan nyanyian mesin jahit Singer-nya, Ia selalu bergumam: “Tubuhnya adalah tubuhku juga”. Ia telah menitik-nitik sebentuk anyaman doa di pori tubuhnya, sebentuk baju adalah wujud tubuhnya dan kini, telah terpatri nyatu di tubuhku. Dari ini wujud nyata bahwa Ia berikan tubuhnya padaku, Ibu.
Deskripsi Karya
Seperti yang kita ketahui, Sentuhan adalah salah satu dari beberapa Indera yang kita miliki. Sentuhan selain dapat berfungsi untuk nilai guna praktik, juga, bersifat emosional atau bisa penuh bermuatan perasaan. Ada sentuhan yang kita sukai tetapi ada juga sentuhan yang kita tolak.
Lebih jauh lagi ternyata sentuhan dapat berpengaruh pada tonggak keberadaan atau kelangsungan hidup seseorang. Bayi semisal, ia amat membutuhkan sentuhan untuk kelangsungan hidupnya, sentuhan/pelukan dari Ibunya seakan dapat sebagai pengganti kehangatan dan kenyamanan ketika ia masih di rahim. Dan, hal ini tentu juga berpengaruh terhadap perkembangan pertumbuhannya.
Semua indera-indera kita terletak di organ kepala tetapi indera raba (sentuhan) terletak di seluruh permukaan kulit. Kulit menutupi seluruh tubuh kita sehingga dengan ini dapat memungkinkan suatu proses menyentuh sekaligus menjadi tersentuh. Kulit adalah pembungkus tubuh, dan dapat membungkus organ di dalamnya serta juga menjaga kesehatan tubuh. Kulit berisikan pori-pori, rambut dan sebagainya. Kulit secara sosial dapat sebagai media untuk mengatakan sesuatu. Kulit ditatto, dirubah warnanya, diberi wewangian dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa diri kita adalah kulit kita atau sebaliknya.
Ternyata indera sentuhan yang berkaitan dengan kulit itu sedemikian uniknya, meskipun sering bila ada tatanan hirarki keinderaan, sentuhan ada diperingkat terbawah dan indera penglihatan sebagai indera utama dan menjadi prioritas di antara indera-indera lainnya.
Pada karya ini terlihat kulit tubuhnya hilang terkurung oleh kulit kedua. Kini berbagai bentuk dapat sebagai pembungkus tubuhnya dan dijadikan seolah olah kulit sesungguhnya. Seluruh permukaan tubuhnya terbentuk sekedar dari hal-hal buatan saja dan hal ini dapat jelas dibaca di semua sisi di kehidupan saat ini.
Uraian tangan yang terayun ke depan, mencoba menyapa dan seakan mengarah serta berharap dapat bersentuhan dengan orang lain. Sentuhan ini mencoba membuka ruang komunikasi pada orang lain tetapi tak tersambut karena masing-masing telah menggunakan kulit kedua sebagai pembungkus tubuhnya.